Cerpen- Takdir

Cerpen- Takdir

Dadaku berdegub kencang. Sambil menimbun gengsi aku bergumam; “Manja sekali orang tua itu harus disusul anaknya” Begitu pikirku. Sambil berdiri mataku celingukan mencari-cari sesuatu diujung kebun, kuberanikan diri memanggil. “Pak!” Kataku sambil memicingkan mata ke pojok ladang. Tak ada jawaban. “Bapak!” Kuulangi panggilan sedikit berteriak. Tetap tak ada jawaban. Kebun karet sepi, sedang suasana semakin terasa sunyi, menyusul hari berubah menjadi gelap. Bapak masih belum juga kutemukan.

Sudah dua kali aku balik ke kebun mencari bapak yang magrib-magrib seperti ini belum juga pulang. Aku sendiri sebenarnya tidak masalah jika bapak harus pulang malam, bahkan tidak pulang,- karena memang selama ini aku tidak terlalu akrab dengannya. Namun demi melihat Emak yang sepertinya sejak terdengarnya bedug magrib sudah mulai cemas, ku tancap motor ceper modifikasiku begitu saja menuju ladang. Mencari Bapak.

“Tidak ada Bapak. Apa tadi Mak bertengkar lagi sama Bapak?” Tanyaku segera setelah sampai dirumah memarkir motor. Sedikit panik.

Perempuan tua berambut putih itu tak menjawab, masih mencari-cari sesuatu di keranjang tidur dan lemari suaminya. Lalu berkata padaku; “Sarung bapakmu tidak ada, biasanya di sampirkan di ranjang ini saja. Masak ya langsung jamaah ke surau, kan belum buka puasa?”  Katanya balik bertanya, mengkerutkan kening, terlihat kepanikan di raut wajahnya. Kebaya batik berwarna ungu yang dipakainya sore itu, sedang sarung digulung hingga ke bagian betis.  “Coba ke surau dulu, siapa tahu bapak di sana!” Perintahnya sekali lagi.

Tak menunggu perintahnya ke dua kali, aku langsung bergegas menarik motor ceper hitamku, menuju surau,- yang sebelum bergegas sempat ku melihat emak berdiri di depan pintu dengan tatapan mata kosong.

Suarau tak jauh, semenit saja motor sudah terparkir di depan. Namun saat ku sampai suasana masih sepi, kurasa semua orang kampung masih asik bercengkrama di rumahnya masing-masing, menikmati takjil dan berbuka puasa bersama keluarga masing-masing.

Demi melihat surau yang masih kosong, pikiranku semakin terasa panik. Mencoba menebak dimana bapak yang sepetang ini tak kunjung pulang. Ada apakah gerangan. Maka, sambil berjalan terburu-buru aku menyusuri jalanan setapak, secepat mungkin mengabari Emak kalau Bapak tidak ada di surau,- yang ketika sampai di depan rumah dengan napas tersengal, baru kusadari jika motorku masih tertinggal di sana.

(***)

Tak seperti biasanya semalam ini bapak belum juga pulang. Biasanya bapak pulang pada jam dua belasan siang, atau saat beduk dzuhur berbunyi di masjid. Membuat emak sejak bakda ashar tadi celingukan menungguinya, mondar-mandir dan sesekali bergumam. Emak jadi lebih sering bertanya saat kumandang adzan magrib menggema di surau seberang.

Aku yang seharian tenang-tenang saja, menjadi ikut kepikiran saat se sore ini Bapak belum juga pulang. Kini pikirku menggelayut kemana-mana. Gerangan apakah bapak sampai enggan pulang sore ini. Pikiranku semakin melayang tak karuan, terlebih saat kuingat pagi tadi, saat usai shalat subuh. Sekitar pukul setengah enam, kudengar bapak dan emak bertengkar, memperdebatkan hutang yang tak kunjung lunas, sedang hasil panen sudah habis. Kebun karet belum menghasilkan getah, batangnya saja masih sebesar lengan, maklum, umurnya kisaran dua tahunan.

Pagi tadi, saat hendak ke bengkel memodifikasi sepeda motor yang memang sudah terlihat kurang menarik, aku sempat berhenti menuntun motor keluar rumah. Pasalnya baru kali ini bapak marah-marah lagi setelah hampir dua tahun bapak insaf. Kata bapak, Emak harusnya tak menghambur-hamburkan uang untuk belanja barang-barang yang tidak perlu; Membeli susu untuk sahur, ikan untuk berbuka, dan makanan-makanan lain,- yang terlalu mahal bagi keluarga kami.

Bagi bapak, ikan asin sudah cukup, yang penting hutang tak membelit. Sedang bagi emak, kasihan anak-anak, biarkan ikan asin untuk orang tua, bukan anak.
Bapak tidak tahu kalau uang untuk membeli susu adalah uang hasil hutang, yang bunganya tak karuan banyak. Kemarin sore, Bang Wahyu, salah seorang toke beras yang tersohor di kampung sebelah datang menagih hutang yang besarnya setara enam kwintal beras, sedang emak dulu hanya pinjam uang 900 ribu.

Bapak kaget, terlebih tahu harus jatuh tempo panen ini. Aku juga kaget, namun kurang peduli dengan masalah orang tua. Yang penting bagiku, motorku bisa ku modifikasi menggunakan uang jerih payahku. Biarkan orang tua dengan masalahnya sendiri. Biarkan juga mereka bertengkar hebat dengan kesalahan mereka, toh nanti kalau sudah berlarut-larut pertengkaran ini, mereka akan paham sendiri, semua hanya butuh satu solusi. Keterbukaan.

Namun sore ini, pikiran bertambah rumit. Mau tak mau aku harus peduli dengan orang tuaku, apalagi tahu sudah sepetang ini, magrib hampir berlalu, bapak tak kunjung pulang.

(***)

Magrib hampir berlalu, kini pikiranku tentang kemana bapak sudah buntu. Dengan langkah yang mulai melambat, aku masuk kerumah dengan muka lesu. Emak terlihat duduk meunggu di ruang tamu. Kini wajahnya tak meunjukkan kepanikan lagi saat menyambutku.

“Kamu buka puasa dulu Ngger!” Katanya memerintahku. “Tadi sudah bilang ke Kang Iman buat bantuin mencari Bapak. Sudah sana buka puasa, lalu shalat. Kang Iman juga masih berbuka.” Katanya dengan nada datar.

Aku hanya mengangguk, masuk ke kamar lalu mengganti sarung. Memakai celana. Bersiap-siap mencari bapak ke kebun karet lagi. Namun tak menuruti saran  Emak, berbuka puasa dan shalat, segera keluar menunggu Kang Iman di ruang tamu.
Sepuluh menit berlalu, saat Kang Iman datang dengan celana cigkrangnya sambil menghisap rokok. Sarung kotak-kotak yang warnanya mulai pudar ia kalungkan di leher, sedang tangannya lincah memainkan senter yang sedang menyala. Sepertinya kami sepakat jika telah terjadi sesuatu yang aneh pada Bapak. Aku juga tidak yakin jika Bapak pergi dari rumah hanya karena bertengkar dengan Emak.

“Ayo berangkat!” Kata laki-laki itu. Suaranya yang cempreng juga ceria. Khas kekonyolan dengan topi hitam yang di pasang miring. “Kita lewat sawah saja Ndu. Aku khawatir Pak Dhe jatuh di kali saat pulang kerja.” Sambungnya sambil bergegas mengambil posisi di depan. Aku buru-buru mengikuti langkahya yang lincah.

Kami berdua menyusuri sungai kecil yang mengaliri persawahan kampung. Kebetulan rumahku di tengah desa, sedang sawahku berada di hulu sungai- atau tepatnya berada paling barat persawahan. Kang Iman berada di depan. Memimpin. Aku susas payah mengejar langkahnya. Sesekali kakiku terpeleset licinnya lumpur persawahan. Kami berdua terseok-seok menyusuri sungai, sambil sesekali senter Kang Iman lincah mencari-cari sesuatu di bawah sungai. “Siapa tahu Pak Dhe jatuh di sungai.” Ujarnya sekali lagi. Aku tak bicara, mengikuti langkahnya sambil awas mengikuti arah lampu senter.

“Apa itu?” Tiba-tiba Kang Iman berteriak. Aku terperanjat seketika. Lampu senter terpaku pada sepotong kain yang terseret arus sungai. “Astaga, Kang!” Kataku. “Itu kain biasa dari hulu.” Kami menghela napas bersamaan, lalu melanjutkan pencarian.
Detak jantungku terasa semakin berdebar saat langkah kami berada di puncak sungai. Kini aku berada di area persawahanku sendiri. Di depan, terbentang perkebunan karet,- yang sebetulnya sudah dua kali aku ke sana.

“Ada satu tempat yang belum aku jamah tadi Kang. Memang letaknya paling sudut, tempat bapak menanam Kencur.” Kataku pada Kang Iman. “Tadi suasana sangat gelap, nyamuk banyak. Aku jadi takut mau ke sana. Lagian manamungkin Bapak di sana sore-sore begini.”

Kang Iman diam sejenak. Menggaruk-garuk kepala, membuat kopyah hitamnya semakin menceng tak karuan.

“Kita bagi tugas saja Ndu!” Katanya kemudian.” Kau yang pergi kesana, aku ke gubuk Mbah Jai, siapa tahu Pak Dhe sedang ketiduran pas waktu ashar tadi istirahat. Bagaimana?” Katanya meminta persetujuan.”Em,.. Masuk akal Kang. Ayo!” Kataku menimpali.

Kami langsung bergegas. Sedang aku menuju tempat yang kucurigai sejak awal belum ku jamah, Kang Iman punya asumsi lain, memeriksa gubuk Mbah Jai yang letaknya memang tak jauh dari sawahku. Hanya kisaran seratus meter saja. Gubuk kecil ditengah sawah itu tak terlihat karena suasana sawah di pinggir hutan yang memang sudah gelap. Kami berpisah.

(***)

Kebun gelap. Suasana semakin mencekam. Apa aku sudah gila mencari Bapak sampai ke tempat yang penuh nyamuk hutan semacam ini. Ah, ya! Mungkin aku sudah gila. Siapa yang menyuruhku tiba-tiba berpetualang seperti ini, sendirian di hutan mencari sesuatu yang belum jelas keberadaannya. Di mana Kang Iman sekarang? TIdak. Biarkan aku sendirian di dalam hutan seperti ini.

Bapak, kemana saja kau. Susah sekali aku mencarimu. Jangan! Jangan mati kau Bapak. Ah, tapi mana mungkin bapakku mati. Ah, sudahlah. Biar aku cari dulu dimana kau sekarang. Awas saja sampai ketahuan kau marah dengan Emak lalu hendak minggat. Sialan.

Sementara pikiranku yang meracau, tiba-tiba aku berhenti pada lampu senter yang menangkap kaos oblong yang aku kenal. Astaga! Ini Kaos bapak, dimana orangnya. Begitu pikirku.

Belum sempat aku berpikir panjang, lampu senter kuarahkan di sekeliling. Aku menangkap gagang cangkul yang tergeletak di sana, bekas bapak mencangkul tadi pagi sepertinya. Aku terperanjat saat lampu senter menangkap sosok tubuh yang turbujur kaku di sudut sana. Di bawah pohon karet. Tepatnya. Sosok tubuh yang sangat ku kenali tentunya. Terbujur dengan lalat yang mulai mengerubunginya.


Kang Iman!!!. Teriakku seketika.

Comments

Popular Posts