Cerita Malam Jumat Abdur

Bagian 1

Malam itu, Abdur  duduk-duduk menyandar kursi bambu depan rumahnya. Melamun. Sarung kotak-kotak membelit leher, sedang kemeja lusuh berwarna merah tua dengan dada terbuka, sarat dengan suasana panas malam daerah Sumatera. Sesekali tangannya pelan menggapai segelas kopi yang mulai dingin, lalu menyeduhnya sekejap. Lama terdiam, Abdur seolah menunggu seseorang. Sedang suasana sunyi lengang, sekitar pukul Sembilan malam seperti saat itu, orang kampung jarang keluar rumah, mereka lebih asik menonton televisi di rumah masing-masing, atau malah tidur karena kelelahan.

Masih dalam keadaan melamun, tiba-tiba Abdur menangkap sesuatu yang melintas di jalan. Anak muda itu terlihat kaget hingga menimbulkan gerakan spontan,- seperti refleks orang orgasme. Abdur menjulurkan kepalanya ke depan, mencoba menangkap sekelebat bayangan yang melitas tadi. Lama Abdur terdiam dengan sikap siaga, namun suasana kembali seperti sedia kala. Sunyi lengang.

Lima menit berlau, otot-otot Abdur mulai mengendur. Dengan gerakan slow motion Abdur kembali menyandarkan punggungnya di kursi anyaman. Menarik napas dalam-dalam. Sepertinya kelelahan bisa menimbulkan halusinasi bagi seseorang. Pikir Abdur sembari meraih segelas kopi yang menyisakan sisa-sisa ampas kopi, lalu menyeduhnya lagi.

Namun saat gelas menempel tepat di mulut anak muda itu, matanya kini menangkap sesosok manusia berwarna putih sedang bergerak ke arah rumahnya. Masih saat mulutnya menganga menerima sodokan gelas, matanya melotot, tangannya memegang erat sarung yang melilit leher, tubuhnya kaku, memastikan sosok yang dilihatnya bukan hantu.

“Ya salam..!” Pekik Abdur .”Ternyata kau, Solihun. Kupikir hantu Kuntilanak penunggu jembatan, pulang dari nonton bioskop lalu mampir kerumahku. Pake pakaian putih-putih segala malam ini. Macam mana pula ceritanya kau ini, tumben-tumbenan pakai sarung putih, baju koko warna putih pula. Hendak mengisi pengajian di mana, ha? Dari tadi mondar-mandir begitu.” Teriak Abdur membuat gaduh, disusul gelak tawa Solihun yang tanpa basa-basi langsung megambil posisi duduk telentang di dekat Abdur.

“Sabar lah kawan, jangan kau sok-sok kaget begitu. Lagian siapa suruh kau melamun malam-malam begini. Untung aku yang datang. Bagaimana kalau tante Kunti Si penjaga jembatan situ, ha? Sudah kesurupan tak karuan kau sekarang.” Jawab Solihun yang merasa puas karena berhasil menakut-nakuti teman sebaya sekaligus tetangga terdekatnya itu. “Aku habis mengantar Mamakku pengajian, bosan aku menunggu kutinggal saja beliau. Pulang lah. Biar nanti kalau pas mau pulang telpon dulu.” Sambungnya santai, masih menahan tawa kepuasannya.

Solihun, yang memiliki badan tinggi kurus, berkulit putih, berwajah biasa khas orang Melayu, tadi hendak main ke rumah Abdur. Demi melihat temannya sedang melamun di teras rumah, akhirnya memutuskan membuatnya sedikit kaget dengan berjalan mengendap-endap, berdiri lama, lalu berjalan perlahan. Membuat gerakan mencurigakan. Solihun harus sedikit berbangga, karena ide spontanitasnya berhasil membuat rekannya itu terperanjat.

“Tapi tunggu dulu Dur. Kau tadi bilang aku mondar-mandir di jalan. Yang benar saja, aku dari rumah saja tak ada kerjaan setelah mengantar Tuan besar. Siapa pula yang kau maksut mondar-mandir itu?” Kata Solihun sambil meletakkan kopyah putih di antara mereka duduk.

Abdur kembali terdiam mengkerutkan kening, seperti berpikir keras dengan apa yang barusaja dikatakan sahabatnya itu. Sekejap kemudian, wajahnya berubah tegang. “Wah. Berarti benar kata Bapak. Malam Jumat Kliwon Si Kunti sedang kelayapan.” Desis Abdur, nyaris tak terdengar Solihun.

“Hei, Hei, hei, ngomog apa kau ini. Jangan bahas yang aneh-aneh.” Sahut Solihun terjingkat. Merapatkan duduknya ke arah Abdur.

Abdur hendak menggeser posisi duduk, menjauhi Solihun. Namun gerakannya terhenti. Mereka berdua terdiam, saling tatap dengan pandangan mata melotot, seperti pencuri sandal ketahuan sang empunya toko. Isyarat mata Abdur ke temannya menunjukkan anak itu menangkap sesuatu di jalan, begitupun sebaliknya. Tanpa saling menjelaskan, barusan mereka menangkap bayangan putih melayang melintas di jalanan yang berjarak lima meter dari teras rumah Abdur. Bayangan itu melintas sepersekian detik lalu menghilang di balik kayu mangga yang rimbun. Mereka kompak melihat sebab mereka duduk menghadap ke jalan.

“Em, begini saja, Dur. Bagaimana kalau mala mini aku menginap di rumahmu saja, ha?” Kata Solihun menelan ludah, wajahnya berubah pucat seperti tepung.

Abdur menurunkan kakinya dari kursi. Memasang sandal jepit perlahan, lalu lari kedalam rumahnya sambil berteriak.”Kuntilanak…!” Diikuti Solihun yang tak menggubris kopyahnya tertinggal diluar.

Comments

Popular Posts