Krisis Setengah Abad: Si Kecil yang Lupa

Krisis Setengah Abad; Si Kecil Yang Lupa

Jamaah shalat magrib hampir usai. Semua peserta masih khusu’ beristighfar, memohon ampunan kepada Tuhan, hikmat mengamini doa Imam. Begitupun aku, khusuk menengadahkan kedua tangan, seraya memohon belas kasih tuhan, ketika tiba-tiba seorang bocah kecil di depanku celingukan mencari-cari sesuatu, lalu tak lama menuju seorang laki-laki yang masih hikmat berdoa. Tepat di barisan depan.  Bocah itu sesaat meyakinkan dirinya untuk kemudian mendekap lembut sang ayah. Sang ayah yang baru tersadar buru-buru menarik si bocah ke pangkuan. Mereka bercengkrama dan berdoa.

Doa usai. Tangan-tangan mengusap wajah. Serempak. Mengheningkan cipta sejenak, sembari menunggu sang Imam beranjak meninggalkan tempat. Kemudian disusul satu persatu jamaah beranjak, bersalaman, bercakap-cakap lirih dengan teman yang dikenal. Kecuali sang ayah dan anak  yang masih bercengkrama dipangkuan. Beberapa kali sang ayah mengusap lembut rambut si kecil lalu mengecup ubun-ubunnya. Si kecil merengek manja, minta sesuatu yang aku sendiri tak tahu itu apa.

Aku masih diam dalam lekat, menerawang kosong pada barisan depan. Dalam lamunanku melihat mereka, anganku menggelayut jauh. Megenang seperempat abad lalu, saat setiap waktu aku hanya butuh kehangatan, kenyamanan, dan kasih sayang dari setiap orang, terutama ayah dan ibuku. Perasaan itu masih terasa erat mendekap kalbu saat ini,- aku dewasa yang terbiasa mendapat kehangatan dari orang-orang dewasaku sejak dulu.

“Mengapa aku baru tersadar sekarang. Saat aku kesulitan menghilangkan sifat kekanak-kanakanku, ketergantungan, dan kenyamanan ditopang orang lain?” Pikiran itu yang tiba-tiba saja menggerayangi otakku.

Setengah abad sudah berlalu. Saat tersadar aku benar-benar kesulitan merubaah diriku sendiri. Kadang jua aku terkagum-kagum dengan anak-anak lain yang sudah tegak berdiri dengan kaki sendiri. Mengepalkan tangan, dan berteriak lantang membangunkan mimpi-mimpiku di siang hari. Benar-benar mengagetkanku dalam kenyamanan, ketentraman, nan kedamaian oleh selimut tebal orang-orang dewasaku terdahulu. Bukankah banyak diantara mereka sudah mati, lalu bukankah kemestian kini aku di daulat menjadi orang dewasa untuk generasi saat ini.

Baiklah kupikirkan nasib yang menimpaku saat ini. Aku yang bertulang keras, namun hatiku masih sama dengan hatinya seorang bocah yang masih menyusu. Dibungkus selimut cinta kedamaian dan kemapanan. Harus jatuh bangun membuang semua pakaian itu, menggantinya agar sesuai dengan porsiku. Porsi manusia dewasa yang mampu berdiri menggunakan kaki sendiri.

Aku terjebak terlalu jauh, tenggelam dalam kemapanan, hingga kesulitan mencari jalan keluar. Laa yamuutu walaa yahya.Enggak mati, kebanyakan biaya. Itu nyata.

Bagaimana aku harus keluar dari zona nyaman agar terbebas dari jebakan mematikan!

Shalat magrib sudah usai. Aku beranjak dari tempat duduk, menyampirkan sajadah sekenanya sambil berjalan terhuyung keluar masjid, sembari membiarkan pikiran yang mulai meracau kemana-mana; Ketidak berdayaan, atau kegelisahan terus mengacak-ngacak pikiran. Aku gelisah. Saat ini memang baru terasa beratnya. Sulitnya mandiri, susah bertahan hidup, kurangnya daya juang, membuatku kejang-kejang memaksa jiwa raga membebaskan cengkeraman mematikan sifat kekanak-kanakan. Meski sifat itu tak terlihat orang lain, namun begitu membelenggu diri, apa-apa masih orang lain. Untung saja, makan tak perlu minta suap dari tetangga.

Lalu bagaimana jika keadaan ini masih berlarut-larut, dan aku tak jua terbebas dari zona ini. Apa yang seharusnya kulakukan dalam waktu dekat. Sedang tak mungkin kubiarkan otak ku mati konyol jika terus-terusan mengendap dalam ruang yang teduh. Aku harus bertindak.

Disinalah letaknya diriku, seorang laki-laki besar yang diam-diam berkeringat memaksa seluruh daya pikir dan tenaga membangun brand dalam diri. Menjadi manusia dewasa. Sedikit demi sedikit melepas pakaian masa kanak-kanak- yang sebenarnya memang sudah tidak pantas dipakai. Dan harus kuakui, aku masih sempoyongan melepaskan pakaian itu.

Tak mungkin lagi aku dipangku ayahku, tak mungkin lagi aku digendong ibuku, tak patut lagi aku merengek kepada kakakku. Semua sudah berubah. Ayah sudah meninggalkanku, sedang ibu sudah waktunya kugendong, kakakku tentu punya kehidupan sendiri dengan keluarganya. Kini tinggallah aku di perempatan abad yang mencoba melepas jerat abadi, lalu berbalik dengan langkah kaki yang mantap. Menjemput impian, menjadi penopang adik-adik yang juga butuh kegandeng dan berjalan bersama.

Maka, waktu akan terus berlalu, mencetak kenangan-kenangan, meninnggalkan hari, minggu, dan bulan, menjadikan tahun, dan menggerogoti umurku yang semakin bertambah, semakin kecil ruang hidupku di muka bumi. Tak mungkin aku berpangku tangan jika melihat data rill ini.

Peluang dan Target

Jika hari terus merangkak, bumi berputar, pertumbuhan manusia semakin berkembang, bagaimana dengan diriku? Haruskah aku diam saja,- sebatas meratapi ketidak-tepatan langkah hanya dengan mengeluh. Aku tahu, cepat atau lambat diriku harus siap menghadapi perubahan. Lalu pertanyaannya, kapan aku siap menghadapi perubahan. Sedangkan perubahan akan terasa ringan jika kitalah yang memulai, bukan takdir yang merubah.

Pada akhirnya aku hanya membuat dua opsi; Mencari peluang dan membuat target.
Setiap hari saat aku bangun pagi, melakukan rutinitas kemudian bekerja. Siang dengan pekerjaan yang tersedia, kadang begini dan begitu, hingga malam datang. Begitu seterusnya, yang kurasakana seringnya malah rutinitas pengulangan atau iterasi. Rutinitas pengulangan tanpa inovasi seperti inilah, yang ternyata membuat otakku mati.


Hari ini, efek dari hari-hari sebelumnya, kukuatkan niat memberdayakan diri. Mencari peluang-peluang di linngkungan sekitarku, membuat target-target kegiatan baik personal maupun eksternal. Seperti kegiatanku bersama teman-teman, yang setelah ku sadari memang perlu seringnya berkomunikasi untuk memantapkan target-target yang sudah disusun. Jika ditengah jalan kami menemukan ide-ide lagi, kami mencoba mengkomunikasikan dengan tim untuk selanjutnya segera dirapatkan teknisnya. Kegiatan ini kurasa sangat perlu dan bayak manfaat, selain kita terpancing untuk terus belajar dan berkembang, kita tidak merasa keberatan karena ada tim yang siap dengan tupoksi masinng-masing.

Comments

Popular Posts