Sepeda dan Emak
Juli ke 25- Sepeda dan Emak
Aku bergegas pulang. Buru-buru membalikkan badanku agar
air mataku yang tumpah tak dilihatnya. Kukayuh sepeda buntut sambil
tersedu-sedu menyeka air mata yang terus membasahi pipiku.
Pagi itu, aku berangkat ke
sawah mengantar Emak, menggunakan sepeda buntut satu-satunya milikku. Emak
duduk di belakang mengambil posisi miring, lalu kugenjot sepedaku kuat-kuat
meski kakiku tak cukup menggapai pedal sampai ke bawah. Hingga sampai di
jalan turunan depan Wak Nur, roda belakang terperosok kerikil tanah merah
hingga kami terpelantinng ke samping. Setir sepeda mendongak keatas, sedang
badan Emak terhuyung ke depan. Sontak dadanya membentur ujung setir. Emak
mengerang.
“Sek-sek Le1,
dada Emak sesak.” Kata Emak terbata sambil mengelus-elus dada. Ia duduk di
pinggir jalanan sambil meringis kesakitan.
Aku bergegas berdiri hendak
menyambar Emak, namun kakiku menjadi kaku dan terasa bingung hendak melakukan
apa. Kupandangi wajah Emak yang masih pucat melawan sesak nafas oleh benturan
tadi. Tidak ada yang lecet selain luka dalam yang kurasa akan fatal.
Masih dalam kebingungan, aku
yang tidak tahu persis harus bagaimana, akhirnya membereskan rantang yang
terpisah dari kawat pengikat dan tutupnya. Menggabungkannya sambil mengais nasi
dan lauk ikan asin yang berhamburan dijalanan. Tanganku gemeteran saat
memunguti nasi lauk. Kurasakan dadaku menjadi
sesak menyaksikan kejadian seperti ini.
“Sudah kamu pulang bawa
rantangnya. Emak mau sendiri saja ke sawahnya.”
“Kenapa aku tadi nggenjotnya
kencang banget. Aku bukan mau pergi kesekolah. Tak sepatutnya naikku sepeda
seperti hendak berangkat sekolah
dan berlomba kencang dengan teman-teman.” Gumamku dalam hati. Meninggalkan Emak
yang jangan sampai tahu aku kasihan dengannya. Malu lah, anak laki-laki mewek
menangisi Emaknya.
Hingga hari ini Emak memang
tidak bisa menaiki sepeda.
(***)
Pada akhirnya semua kejadian
hanya menjadi legenda, dan semua legenda akan menjadi cerita lucu bagi
kita saat ini yang mendengarnya.
Ow. Tidak bisa. Semua kisah
memang akan menjadi legenda, tapi tidak semuanya bisa kita tertawai. Bagiku, legenda
yang lucu itu hanya untuk menertawakan diri kita sendiri, bukan orang lain.
Jika harus memilih bereaksi dengan legenda diatas, aku ingin meneruskan
tangisku pagi itu malam ini. Menguras air mata hingga habis,sehingga jika suatu saat nanti kesedihan mendatangiku,
aku sudah tak dapat menangisinya .
CATATAN:
1 : Sebentar, Nak.
Ditulis untuk memenuhi
program kemandirian ‘one day one article”. Pukul 23.00 saat sampai di kamar. Setelah
berjibaku dengan tugas-tugas pekerjaan yang jatuh deadline malam ini. Menghasilkan secuil gurat pena.
Comments
Post a Comment