Projek Cerpen Bagian 1

Projek  Cerpen Bagian 1

Aku menarik tanganku yang hendak mengetuk pintu, ragu. Suara dehem Wak Rudi, sesepuh desa dari dalam rumahnya sudah menciutkan nyaliku. “Ah, ada gerangan apakah Wak Rudi sedari kemarin terus mencariku?” Aku mereka-reka penuh cemas.

“Masuk.” Suara Wak Rudi menyahut. Mendengar suara pintu ku ketuk dan salam. Membuka pintu. “Kau sudah seminggu kucari. Kata Emakmu tak kemana-mana. Lalu mengapa lama tak kunjung jua kesini, Ardi?”

Aku segera beringsut masuk mendahului tuan rumah  sebelum dipersilahkan. Melintasi Wak Rudi yang masih memegangi daun pintu,tangan kanannya erat menahan pengikat sarung yang terlihat hampir kedodoran. “Kabarnya sehat,Wak? Katanya habis jual sapi!” Kataku basa-basi. Mengambil posisi duduk di kursi anyaman yang terbuat dari bambu, lalu mngempaskan punggung hingga menciptakan bunyi kriet dari sana.

“Eh, lah. Sudah lama. Uangnya juga udah habis dikirim ke Paesal buat biaya semesteran. Kabarmu bagamana? Kok semenjak mondok di Jawa malah pulang enggak pernah ikut kegiatan barzanji.” Tanya Wak Rudi setelah nyaman dalam posisi duduk dengan kaki terlipat. Tangannya mulai sibuk meracik tembakau.

Aku mendengus napas panjang. Sudah kuduga, seminggu Wak Rudi mencariku, menyuruhku menemuinya hanya untuk menghakimiku. Aku mengkerutkan kening, mencari-cari alasan yang tepat atas jawaban pertanyaan  sesepuh desa ini. Membiarkan ruangan hening untuk sekian lama. Hanya terdengar kemretek suara cengkeh Wak Rudi saat  menghisap racikan tembakaunya, menciptakan asap yang mengepul memenuhi ruangan.

(***)

Tujuh tahun berlalu, semenjak kepergianku menimba ilmu ke pulau Jawa.  Belum genap satu bulan aku menjejakkan kakiku kembali di perkampungan ini. Melepas rindu yang tak terbendung menghirupi udara segar setiap  hari, menikmati kicau burung kenari yang masih setia  bernyanyi liar. Sungai yang berkelok nan jernih, mengairi persawahan yang terhampar luas, suara bebek berbaris  mandi di pematang, hingga kambing-kambing kecil yang masih terlihat berlarian di perkebunan tetangga.

Semuanya sempurna kunikmati, sebelum selanjutnya suasana itu berubah. Suasana yang sebenarnya  sejak pertama ku kembali sudah terasa berubah. Namun perubahan itu ku abaikan begitu saja.

Belum genap satu bulan. Enam belas hari tepatnya aku di rumah. Semakin hari para tetangga banyak yang berdatangan, semakin banyak pula keluh kesah yang kudengar dari mereka. Rerata semua mengeluhkan anak-anaknya yang malas mengaji ke surau, tidak mau melanjutkan sekolah menengah atas, semuanya ingin pergi ke kota,- bekerja di kota, tepatnya. Banyak pula yang tak malu-malu mengeluhkan perbedaanku, lantaran aku tak lagi sering memakai sarung. Seperti sebelum aku pergi.

“Kau sudah tujuh tahun. Selayaknya kau meramaikan kampung dan setiap hari menjadi muadzin. Oh. Ya! Kau panjangkanlah jenggotmu itu. Tak pantas bertahun-tahun mondok masih saja bergaya modern.”

“Alamak! Sejak kapan kau lepas sarung? Tak elok kau begitu. Pantas saja anakku tak sudi lagi bersarung. Meniru  kau rupanya!”

“Nah, Ardi. Kebetulan kau datang tahun ini. Sudah waktunya kau menggantikan Mbah Dardi, menjadi Imam tahlil.”

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan usulan dan keluh kesah para tetangga. Duduk dikursi merapatkan kedua  tangan, takzim mendengarkan mereka yang jika kurasa-rasa malah seperti sedang menghakimi. “Jangan dengarkan mereka. Kayak tidak tahu saja kelakuan para tetanggamu.” Kata Emak menghiburku. Seolah tahu keresahan yang sedang kupendam.

“Tapi alangkah baiknya jika kau tak kaku seperti itu. Bersosial yang baik  kan juga bagian dari ibadah. Begitu yang Emak paham dari kajian Bopo Guru. Sudah, jika Industri Kreatif mu tak direspon penduduk, malah berharap kau jadi Kiai dusun, mungkin itulah jalanmu. Lalu, pergilah ke rumah Wak Rudi yang setiap hari mencari. Terima tawaranya menggantikan Imam dan guru mengaji. “

“Apa lagi itu, Mak. Mengapa jika mondok harus pulang menjadi Kiai? Menjadi Imam tahlil? Menjadi …”

“Ya itu juga bagian dari ibadah, kan Le?” Kata Emak memotong pembicaraanku.

29 Juli 2017

Ditulis untuk memenuhi program kemandirian “one day one article”. Nantikan kisah cerpen ini selanjutnya.



Comments

Popular Posts