Di Sungai Itu
Juli ke 27- Di Sungai Itu
Senja telah berlalu. Suara adzan menggema. Orang-orang
semakin sibuk menyiapkan lampu menjelang gelapnya hari. Hanya aku yang
masih membisu dalam diam, memandangi
cahaya lampu yang berpendar dari pantulan air sungai. Masih dalam bisu, kulihat
para gadis kecil berseragam mukena berbaris teratur menuju suara adzan. Di
kejauhan sana.
“Riko! Ayo sembahyang sama
baba, Nak. Malas sekali kalau disuruh sembahyang mengaji.”
“Ah, Baba. Kau saja yang
ke surau. Lagian aku masih muda.”
“Riko!...”
Aku terkesiap. Suara-suara itu akhir-akhir ini selalu
menggangguku. Tentang ibadah, menyembah, dan masa muda yang kusia-siakan begitu
saja.
“Riko. Malu rasanya Baba
punya anak setan kayak kau. Pergi! Pergi! Jangan pulang sebelum hapal ayat kursi.”
Aku tersedu-sedu sendirian di pojok jembatan. Tak
terasa air mata membasah di pipi. Pundakku terasa terguncang mengingati masa lalu yang penuh luka kecewa
Baba. Sebelum akhirnya kudengar kabar meninggalnya Baba yang memanggil-manggil
namaku. “Pergi saja kau anak setan.
Ayahmu mati gara-gara gila mendidik anak setan kayak kau.” Usir Rugai, mama
tiriku waktu itu.
Adzan baru saja usai. Puji-pujian terlantun dari dalam
masjid. Shalawat zam-zam menggema, sayup-sayup terdengar merasuk kedalam kalbu,
mengisi hati yang sejak dulu kering keronta, tak pernah terisi makna shalawat. Aku membuang sejenak anganku, menikmati
getaran kalbu yang selama ini tak pernah terisi oleh alunan puji-pujian bernuansa ruh. Tanganku
bergetar memegangi gagang pancing,
patah-patah mulutku mengikuti pujian sahalawat.
Yaa-robbi-sholli-washallim.-alannabi-khoiril-anam.-zurna-makkah-wa-ila-zam-zam.-muhammad-alaihi-salam.
Laitsa-kamitslihi-syai-un.
Dengung iqomat bak seruan untuk bersegera menjalankan
shalat. Aku berdiri dengan kaki yang bergetar akibat hampir seharian duduk
melamun dan berjibaku dengan kail dan pancing. Ah, benar-benar kram. Sejanak
kubuat jongkok, menghilangkan kram yang menggigit kaki. Lalu bergegas meloncat
menuju suara iqomat berdengung.
“Abang mau kemana? Ikan banyak enggak dibawa. Maen
lempar-lempar saja tu pancing.” Teriak seorang laki-laki gendut yang sejak tadi
duduk melamun menunggui kail dimakan tenggiri.
Aku tak menghiraukan teriakan orang itu, terus berlari
menuju suara adzan. Di kejauhan sudah kulihat, orang-orang mulai berbaris
menata barisan, bersiap melaksanakan shalat jamaah. Aku semakin mempercepat
langkahku, mengejar ketertinggalan berjamaah. Dalam tergesa-gesa saat hendak memasuki
halaman masjid, mataku sempat melirik banner besar yang terpampang di gapura bertuliskan
“SUGENG RAWUH DI POMOSDA”.
Aku semakin mempercepat langkahku, nyaris lari.
Sebelum kakiku tersandung batu kecil, hingga menyebabkan hilangnya kestabilan
tubuhku. Cepat terhuyung ke depan, menubruk tanah. Sayang seribu sayang, batu
yang lebih besar memapak pelipisku. Benturan kecil namun keras terjadi, membuat
pandanganku berkunang-kunang. Cahaya lampu berpendar kulihat dari pantulan
sungai, sebelum sedikit demi sedikit menghilang dari pandangan. Semuanya
menjadi gelap.
“Baba!...” Aku berteriak.
27 Juli 2017
Adegan dalam tulisan ini hanyalah fiktif belaka.
Ditulis untuk memenuhi program kemandirian “one day one article”. Inspirasi
diambil dari suasana sungai Brumbung, alunan Shalawat Zam-zam, dan aktifitas
santri pomosda yang terekam mata penulis dari persimpangan jalan.
Comments
Post a Comment