Cerpen I Nganjuk-Solo Full Versi

 Di bawah ini merupakan contoh cerpen yang kurang fokus dalam memberikan pesan. Anggle yang kurang tepat, sehingga alur cerita terkesan dipaksakan. Pembaca pun akan kesulitan menarik pesan.

Juli ke 21- Cerpen : Nganjuk- Solo

Udara  mulai terasa dingin saat kakiku mendarat di terminal Solo. Dengen menenteng ransel hitam berukuran besar, aku berjalan menelusuri setiap  sudut  terminal, berbaur dengan orang-orang yang saling berebut mendahului. Mencari transportasi pengganti.

Palembang-Nganjuk, pada hari-hari seperti ini memang susah mencari bus antar provinsi. Biasanya- jika berangkat sendiri-, aku selalu memilih menumpang bus Rosalia. Karena selain bisa langsung turun di pasar Baron, ke-ajekan jadwal bus yang selalu  sampai ke kampus Pomosda pada malam hari menjadi opsi agar aku bisa langsung mengempaskan tubuhku di kostan dan beristirahat hingga pagi.

Namun pada tahun baru kali ini, tuntutanku sebagai ketua organisasi di kampus mengharuskanku berangkat lebih dini. Dan terpaksa membiarkanku tersangkut di terminal Solo.

Aku terus berjalan mencari ruang tunggu. Sesekali mataku liar mengawasi orang-orang yang berlalu lalang di terminal. Wajah-wajah yang kosong, berjibaku dengan layar mini di genggaman. Wajah yang beku dan pucat seperti mayat, berjalan beriringan namun saling diam membisu. Orang-orang itu seolah berjejal diantara patung-patung manusia yang lunak, menarik ransel-ransel tanpa suara. Hanya yang terdengar suara klakson-klakson bus bernada telolet, suara desingan rem, dan musik koplo yang masih menggema hingga kini. Seakan tak ada yang hidup di sini. Mungkinkah ni yang  disebut kota mati?

Mungkin tidak. Sebab di seberang sana,  beberapa laki-laki tak lelahnya berteriak mencari penumpang. Mondar mandir seperti sedang kehilangan barang. Belum lama tadi, salah satu diantara mereka berhasil menarik satu keluarga yang sedang kebingungan kedalam bus. Setelah menerima selembaran uang puluhan ribu, ia meneruskan berkoar di pinggir bus yang terparkir menunggu penumpang.

Di salah satu aktifitas tanpa suara itulah mataku tersangkut. Terpaku pada seseorang yang sedang sibuk dalam kekosongan di sana.

Aku tak tahu, mengapa aku menjadi ingin memerhatikannya, gadis belia yang sedang sibuk melayani para pembeli. Wajahnya yang imut saat sedang duduk menunggu,  dan menjadi terlihat dewasa saat sibuk meracik nasi pincuk lalu menyodorkannya pada setiap orang yang memesan.

Lama mataku tertegun memandangi gadis kecil yang memakai celana jeans ketat,  kaos biru team sepak bola chealsea dirangkap jaket merah, dan rambutnya yang dibiarkan tergerai kebelakang. Membuatku ingin memerhatikannya lebih lama. Lalu kuputuskan mendekatinya, pura-pura memesan nasi pincuk bersama orang-orang yang sedang kelaparan.

Keinginan untuk mendekatinya seoalah tak membuahkan hasil, bahkan tatapan matanya serasa sangat dingin saat menyodorkan sepincuk nasi, sedingin hawa malam ini. Lama kuhabiskan sepincuk nasi sembari sesekali meliriknya. Dari sela-sela mataku mencuri memandanginya, kutaksir gadis itu berusia 12-an. Oh. Salah. Mungkin lebih tepat jika 9-an.

Waktu yang singkat membuatku terbatas memandanginya, apalagi mengajaknya berbicara. Jam digital di pergelangan menunjukkan pukul 12 malam tepat, saat bus Mira Solo-Surabaya siap berangkat. Sekali tatapan mata kami bertemu. Kemudian aku memiliki keyakinan penyebab mengapa kurasa gadis itu hanya memiliki tatapan mata yang kosong.

Aku meningalkan gadis itu tanpa mengetahui siapa dia, memilih meloncat ke dalam barisan kursi bus Mira sebelum penumpang semakin berjejal dan harus rela berdiri sampai Nganjuk.

Empat jam kutaksir sampai ke pasar Baron, kuputuskan menghubungi Zainal, teman kostan menjemputku disana. Dan memang selalu tepat prediksiku. Zainal yang berselimut jaket hitam sedang menahan hawa dingin dan rasa kantuk sudah tentu meminta upah . “Depan Pasar Warujayeng pecelnya enak.” Kata Zainal di tengah perjalanan.

Dan entah tertanda apa ini, si gadis imut yang kutemui malam tadi sudah berada di sana. Berdiri sibuk dalam pekerjaannya yang terasa kosong. Menjadi pelayan orang-orang jalanan yang sedang mencari sesuap nasi.

Aku berdiri termangu mencoba mengenali gadis kecil berparas manis itu, memerhatikannya seksama. Mata kuyunya yang sama, celana dan kaos yang dikenakannya sama, bahkan cara ia menerima selembaran uang dari orang-orang pun sama. Benar-benar tak meleset dari gadis manis yang kutemui di terminal Solo. Dan jika saja harus ada yang berbeda, adalah tempat yang terpaut jarak yang cukup jauh. Antara Nganjuk- Solo.

(***)

Menjadi ketua organisasi memang sudah wajar jika sering bertugas di luar kota. Apalagi kampus kami sedang gencar-gencarnya menjalankan program kemandirian yang bertajuk “Salam Nusantara Bangkit”. Salah satu program dari guru kami, Bapak Kyai Tanjung.

Sinergi dengan TNI- POLRI terus dikuatkan. Para mahasiswa dan para pemuda sebagai motor penggerak terbagi menjadi beberapa komunitas dan terjun langsung ke lapangan. Penyuluhan kemandirian pangan ke masyarakat dengan memanfaatkan tanaman sela, industri kreatif, dan progam peduli operasional sudah merambah ke pelosok Nusantara. Semuannya bersinergi menjadi sebuah proses guna mewujud-nyatakan kebangkitan Nusantara.

Setiap hari, sebagai pengurus organisasi kemahasiswaan aku dituntut mengoordinasikan proses kegiatan mahasiswa agar tetap berjalan sebagaimana meskinya; Memberikan surat rekomendasi, mengurus surat ijin, dan melaksanakan rapat. Menjadi ketua  organisasi menuntutku bekerja ekstra.
Pagi ini, dua hari setelah sampai di kampus Pomosda aku bersiap tandang menuju kota Solo. Dalam TOR yang kubaca, aku dijadwalkan bertemu salah seorang teknisi pembuatan alat pengusir hama menggunakan  suara ultrasonik. Pihak kampus berharap mahasiswa Pomosda bisa berkontribusi dengan pertanian modern yang ada di pondok, dan lebih-lebih bisa mengaplikasikannya bersama masyarakat. Kami akan membahas kerja sama kampus dengan beliau.

Aku memilih berangkat pukul delapan pagi setelah selesai sarapan, bersama seorang sopir yang juga mahasiswa Pomosda.

Lalu menuju tugu pers, tempat kami dijadwalkan bertemu. Tak menunggu lama, diskusi pun dilaksanakan hingga poin-poin kerjasama tersusun dalam sebuah note. Aku berdiri menyalami Pak Pras, teknisi pembuatan alat pengusir hama. Rapat selesai.

Hari sudah sore, saat kami hendak pulang. Berhenti di warung soto yang tak jauh dari tugu pers. Tiba-tiba saja sosok gadis manis yang kutemi di terminal Solo dua hari lalu terlintas di benakku. Aku melirik Jadi yang sedang asik menyeduh kuah soto.

“Aku mau ke terminal, Di. Kamu balik dulu ya!”

“Loh, mau nge-bis Kak?”

“Enggak. Aku penasaran sama seseorang.” Lalu aku bercerita panjang lebar tentang seorang gadis belia yang kulihat dua hari lalu, tentang dinginnya bocah itu, dan tentang statusnya yang belum kukenali. Jadi manggut-manggut. Lalu sepakat pulang sendiri mengendarai APV kampus.

(***)

Aku merapatkan almamater, duduk bersendakep di deretan belakang bus Mira. Udara semakin terasa dingin saat bus yang kutumpangi meluncur menembus dinginnya malam.

Oh. Pikiranku kembali rancu, terbayang-bayang pada seorang gadis belia yang akhir-akhir ini baru kutahu memiliki nama Salsabila. Nama yang cukup indah untuk seorang gadis kecil yang setiap malam harus membantu neneknya berdagang nasi pincuk. Dalam dinginnya udara malam kota Solo, ia berjuang melawan getirnya kenyataan, bahwa kedua orang tuanya tak mampu membuatnya menjadi remaja yang memilik banyak mimpi. Hanya kepasrahan dan kekosongan malam tanpa mimpi-mimpi indah yang terpaksa ia jalani. Entahlah, semoga masih ada mimpi indah saat ia terlelap di siang hari.

Terimakasih sudah mau bercerita, Salsabila. Darimu aku belajar banyak hal tentang sebuah perjuangan, tentang komitmen berumah tangga, tentang getirnya menjadi korban oleh orang-orang yang hanya mengambil kesenangan tanpa tanggung jawab. Biarkan kisahmu kusimpan sendiri tanpa kuceritakan pada orang lain.

“Perjalanan ini serasa sangat menyedihkan
Di tanah kering bebatuan”

Sayup-sayup suara Ebiet G Ade  terdengar dari tape Mira yang diputar Pak sopir.

Jam di tangan menunjukkan pukul empat pagi, saat aku merogoh hape. Mengirim pesan kepada Zainal yang berbunyi: Kutulis pesan singkat yang berbunyi“ Aku sudah sampai dekat Pasar Baron. Nanti gak usah mampir Warujayeng, takut ketemu Salsabila.”

21 Juli 2017

Ditulis untuk memenuhi program kemandirian "one day one article".

Comments

Post a Comment

Popular Posts