Cerpen | Malu
Juli ke 24- Malu
Langkah ku terasa
sangat berat. Terseok-seok menyusuri jalanan berbatu. Beban yang kupikul,
adalah ketika aku bisa meyakinkan seseorang. Sedangkan aku sendiri belum yakin
bisa melakukannya. Wajah yang penuh harap, wajah kerisauan, berubah menjadi
berbunga oleh kata-kata yang keluar deras dari mulutku.
Mengapa aku ini? Merasa
seperti pecundang yang bersembunyi di balik tembok besar. Berteriak menyuruh
orang lain berperang, sedangkan aku bersembunyi gemeteran di dalam perisai
orang-orang.
“Oh. Terimakasih. Jadi
sekarang aku sudah mantap mau menceraikan istriku, Milah. Benar, benar, aku
pasti bisa kok hidup tanpa Milah.” Kata-kata Roger yang masih
terlintas di benak. Aku tertunduk dalam-dalam. “Tentu saja beda yang menjalani,
beda pula mengambil keputusan.” Gumamku dalam hati.
Roger anak Lurah Cik
Ujang Saleh, sahabatku kuliah. Sudah menikah dua kali. Perceraian pertama
sebetulnya adalah akibat dari saranku. Aku dulu punya alasan bahwa Nur Janah,
istrinya memang kurang tepat untuknya. Dan jika sudah tidak cocok, berpisah
adalah jalan yang terbaik. Toh yang terpenting adalah jangan sampai hal ini
terulang lagi. “Komitmen seorang laki-laki harus ditanamkan kuat, Rog. Biar gak
mudah bosan.” Kataku waktu itu, saat Roger meminta pendapatku.
Kerikil jalanan
menghalangi langkahku. Satu hentakan saat menyandungnya membuatku terkesiaap
akan apa yang sudah ku katakana padanya. Aku bosan selalu memberi saran ke
orang lain. Tapi mulutku seperti harimau yang sedang kencang mengejar
mangsanya, saat buasnya omonganku menyarankan seseorang menurut versiku
sendiri. Sangat kejam.
“Harus punya prinsip,
komitmen dikuatkan. Itu yang disebut suami bertanggung jawab. Suami yang
diidam-idamkan seluruh perempuan di muka bumi ini. Lalu, ya .. begini saja. Kau
pulang, temui anak istrimu. Minta maaf. Jika tak dimaafkan kau harus sabar,
tawakal, berserah diri, berdoa Rog.”
“Ah, Kang. Apa aku
bercerai saja. Sama kayak Kang Makmun. Kang Makmun kan juga pisah?”
“Beda Rog. Beda!”
Roger terdiam sekian
lama. Sepertinya sungkan hendak melayangkan pertanyaan lagi padaku. Mungkin
saja karena mulutku sudah tidak lancar lagi seperti tadi, saat aku memberi
motifasi yang luar biasa- yang jika kuingat-ingat- motivasi itu kuperoleh dari
video seminar motivator kondang di youtube dua hari lalu. Kini aku hanya
gelagapan tak karuan saat Roger menyinggung-nyinggung rumah tanggaku.
Suara klakson truk ber
din kencang. Mengagetkanku yang sedang melangkah gontai tepat ditengah-tengah
jalan. Aku buru-buru menepi. Menghindari truk yang hendak mendahului. “Hoe…
Ini bukan jalan Nenek Moyang Kau. Bedebah.” Seorang laki-laki bertubuh
kerempeng memakai kaos singlet mengeluarkan sebagian tubuhnya dari jendela
truk. Berteriak menyumpahi.
“Hoe… Laki-laki
biadab. Habis manis sepah dibuang.” Ah. Mengapa aku harus jadi teringat
Kata-kata Leanpuri saat menyumpah-nyumpah sambil menjinjing koper besar keluar
rumah. Wajah Enggar yang masih polos terselip digendongannya. Serasa
menusuk-nusuk jantungku. Maafkan ayah sayang.
Mengapa? Apa yang
membuatku tak berdaya dengan keadaan? Hidup bermewah dengan hutang. Istri yang
selalu minta disayang. Ditambah lagi status akademisi yang melekat, selalu
ingin orang memandang.
Senja menjelang. Mendung
menjadi petang. Cahaya mentari menghilang. Hatiku saat ini terasa
sangat gersang. Tak mungkin aku terus menjadi seperti ini, pandai menuturi
orang-orang yang sedang dalam kehampaan, sedang aku malah lebih jauh terperosok
dalam jurang kehampaan. Apa begini saja sudah cukup dikatakan orang Islam,
Iman, dan Ihsan?
Kutarik langkahku terus
menuju suatu tempat. Mungkin disitu aku bisa menyatakan kehidupan yang
sesunguhnya. Mengerti Iman dan tahu hitam putih kehidupan. Nyata kurasakan.
Suara sirine mulai
berbunyi. Lampu merah berkedip-kedip disusul plang portal jalan mengatup
menutupi jalan. Orang-orang berhenti menunggu kereta api berlalu. Saat
kubiarkan mata orang-orang itu mengawasiku penuh ketegangan. Aku tak
menghiraukan teriakan-teriakan yang menyuruhku menepi. Suara klakson membuncah
sepi sahut menyahut seolah memaki-maki. “Dasar gila.”
“Si putus harapan!” “Oh.
Dia orang yang terkubur gengsi.” “Jangan hiraukan. Kita nikmati saja tontonan
yang asik dan menyenangkan ini.” “Hai, bukankah itu motivator kondang?” “Ah,
mana mungkin?”
Aku tak menghiraukan
kicauan orang-orang. Tetap berdiri merenggangkan kedua tangan. Oh, beginikah
yang kucari? Jantungku berdesir tak menentu mendengar semua keramaian. Getaran
kereta api mulai terasa mengguncang bumi tempat ku berpijak. Sekitar lima meter
jaraknya kulihat, pintu kematian yang sangat mengerikan. Begitu hitam dan
sungguh-sungguh gelap .
(***)
Aku meloncat sejauh
sekuat tenaga yang kupunya. Menghindari kematian yang kurasa sangat dengat
menerkam. Sergapan kematian yang hampir saja menerkam sudah berlalu. Namun
panas dan ngilu yang luar biasa kurasa. Saat kedua kakiku tersangkut di atas
rel kereta. Kurasa kakiku hilang.
24 Juli 2017
Ditulis untuk memenuhi
program kemandirian “one day one article”. Refleksi dari sebuah
usaha yang dalam perjalanan menuju akhir tentu mengalami warna-warni
pengalaman yang patut untuk dituangan. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment