Cerpen | Selesai Ujian Kok gak Coret-coret Seragam Nak?
Di depan pos langkahku terhenti, demi melihatku bengong Arif terkekeh .
Aneh, terasa canggung melihat arif dan Jamal ikut piket jaga asrama.
Selama tiga tahun ini, mereka berdua masih menyandang
status sebagai siswa sekaligus santri, harus menaati peraturan-peraturan yang
ada. Termasuk pada jam-jam seperti saat
ini, usai shalat isak di isi dengan kegiatan belajar mandiri.
“Gimana?” Nadaku bercanda, meraih kursi plastik berwarna
biru, mencari posisi duduk. “Apanya?” Jamal menyahut. Kami tertawa.
“Udah di coret-coret seragamnya?” Aku mencari topik pembicaraan. Arif adalah
seorang santri asal Lampung Selatan, sedang Jamal berasal dari Lampung Tengah. Mereka
berdua bagian dari santri kelas 12 yang
beberapa hari lalu selesai melaksanakan ujian nasional. Demi mengisi waktu
luang di pondok, mereka bergabung bersama tim keamanan .
“Waduhh… Udah coret-coret muka pake oli kak”. Jamal
menjawab ketus. “Daripada di coret-coret mending di kasih adik kelas”. Kami tertawa
lagi, entah menertawakan siapa, seolah kami sedang merayakan kelulusan mereka, mulai
bercengkrama.
Tapi ada himbauan dari kepala sekolah gak, kalian
dilarang coret-coret?” Aku penasaran. “
Enggak”. “Berarti kalian sudah dewasa”. Hahahaha... Gelak tawa kami pecah lagi,
pujianku tadi ternyata berhasil membawa atmosphere
malam ini cair. Jamal dan
Arif semakin larut berkisah tentang pengalaman magang
paska UAS.
Kepadaku, jamal mulai bercerita tentang pengalaman magang yang di adakan
sekolah. Tentang hobi yang ia tekuni, selama sepuluh hari magang, ia berjibaku
dengan dunia perbengkelan. Bergelut dengan onderdil penuh Oli, mengelas body motor, mengoperasikan mesin
bubut, atau hanya
sekedar menambal ban motor
pelanggan. Dia menggambarkannya singkat “Coret-coret
muka pakai Oli”.
Praktik kerja ini di laksanakan secara berkelompok, dari
jumlah total 80 siswa, dibagi menjadi 13 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga sampai lima orang. Ada yang
di Madiun, Nganjuk,Kediri, Tuban dan lain-lain. Kebetulan, Jamal dan kedua
temannya mendapatkan jatah sesuai bidangnya. Mereka dikirim pada mitra pondok yang
berada di kabupaten Madiun, bengkel
Motor.
Berbeda dengan Arif yang mendapatkan bagian magang di home
industry pembuatan jajanan Brem.
Selama sepuluh hari praktik, terasa kurang dirasanya untuk bisa membuat jajanan
khas Madiun tersebut. Dia harus belajar menyortir ketan, menanaknya, mengambil
sarinya lalu mengaduk panas-panas, hingga mencetaknya
menjadi Brem siap jual. Hal yang paling sulit ketika mengaduk sari ketan,
jika salah sedikit saja rasanya jadi pahit, Arif mencoba mengingat-ingat. Lalu dia berasumsi, butuh
waktu satu tahun untuk mahir membuat Brem.
“Pemasaranya gimana rif?” Tanyaku melanjutkan.
Arif menjelaskan, pembuatan Brem ditempatnya magang
merupakan usaha perorangan. Dengan mesin cetak manual dan tenaga kerja yang
minim, kadang menjual sendiri menjadi solusi menggiurkan. Memang ada distributor yang
mengambil langsung dirumah, tapi perbandingannya terlalu signifikan. Kita bisa
mematok harga 7-8 ribuan jika memasarkannya sendiri, kalau kita lepas ke
distributor cuma dikasih harga 4,5 ribu. “Itu Brem yang isi enam, yang gedenya,
segini”. Arif meyakinkan, kedua tangannya mencoba membuat ukuran.
“Kalau jual sendiri di buang kemana emang Rif?” Aku
menyelidiki.
“ Ya di pusat oleh-oleh lah, gak mungkin kita jual ke
Indomart”. Arif menjawab serius. “Logikanya
nih, aku sendiri kalau ke
Indomart cuma pas mau beli odol, gak mungkin
nyari oleh-oleh”. “Mantep! luar biasa sekali santrinya bapak”. Aku
memberikan applouse, spontan memuji mereka lagi.
“Piye sih, kader bangsa ya harus begini, kadernya bapak”
Arif langsung menimpali, duduk berlenggang dengan punggung tegak, berjumawa.
“Tapi Rif, kamu tadi seolah bilang kalau kak amin gak
punya logika alias robot” celetuk Jamal. Hahahahaha, gelak tawa kami membuncah
ruang sunyi. Mengusir penat, jengah, bahkan kami tak tahu sedang menertawakan apa
malam ini.
(***)
Catatan :
Bapak : Sebutan yang digunakan para santri, merujuk pada
bapak pimpinan, bapaknya para santri, atau bapaknya para murid (Orang yang
berkehendak kembali kepada Tuhan). Beliau juga lebih dikenal dengan sebutan bapak
Kyai Tanjung.
Tulisan ini ku persembahkan kepada adik-adik ku yang baru
saja selesai mengikuti ujian nasional, di tambahi kewajiban mengikuti magang selama
sepuluh hari. Belajar bersosial dengan masyarakat, belajar kreatif dengan
tanggap melihat potensi yang ada di sekitar kita. Semoga tiga tahun di SMA
Pomosda benar-benar menjadi pelita hidup kita bersama, menginspirasi masyarakat
seluruh Nusantara.
Pondok sufi 04-05-2017
Mantap bro ... penyampaian, angle, penggambaran latar, apalagi pesan yang tersirat sangat apik. Jadi ingat masa SMA. hehe ....
ReplyDeletedaripada di coret-coret mending disumbangin ya ha ha, penyampaiannya bagus
ReplyDelete