Menuju Revolusi Indonesia Maju : Jangan Kotori Negeri Ini Dengan Pertikaian
Kemerdekaan telah berlalu, begitu tepatnya penjabaran
singkat tentang tanah air. Kini saatnya, semua lini masyarakat saling bahu
membahu memajukan bangsa.
Sejarah
menyebutkan tentang Indonesia, sebuah negara kolonial, dengan tata kelola
negara yang dipimpin oleh minoritas, masyarakat bumi putera terpinggirkan,
bersorak-sorai dan menjadi penonton, hingga menuntun pada satu titik "ketidakpuasan"
secara massal. Kekacauan, perampokan terjadi di mana-mana, pemberontakan, dan
pembunuhan.
Pandangan
yang kontras dari warga Eropa, bahwasanya di pulau nusantara yang terkenal
indah nan permai, masyarakat yang ramah tamah.
Namun
demikian adanya, perampokan sering terjadi, pemerkosaan, pemberontakan yang
disinyalir ketidak puasan, membuat minoritas berkulit pucat tersebut tak dapat
memejamkan mata, ketakutan akan bahaya dan ketidaknyamanan terus menyelimuti.
Keadaan
"danger" seperti ini terus meningkat hingga memaksa mereka
pulang ke negeri Belanda pada tahun 1942.
Saya
tertarik dengan ulasan salah seorang
peneliti senior pada KITLV ( Institut Linguistik dan Antropologi Kerajaan Belanda) Marieke Bloembergen, dalam
bukunya yang berjudul Polisi zaman hindia
belanda . Yang menjabarkan tentang sebuah Negara Hindia Belanda (abad ke
19-20) sebagai negara penuh kekerasan. Negara ini berhasil memperluas lingkup
kekuasaan dan wilayahnya melalui penaklukan militer. Guna memajukan kepentingan
ekonomi dan kekuasaan politiknya,
digunakanlah cara-cara rezim perburuhan, terror dan peperangan.
Saya
ingat dengan istilah “Haji putih” (1893), kelompok pemberontak berpakaian
putih-putih , sambil meneriakkan ayat-ayat suci, membunuh seorang pejabat
tinggi pemerintah Eropa beserta keluarganya, sejumlah pegawai pemerintah
rendahan bangsa Eropa, termasuk ke dalamnya sejumlah kepala pemerintahan lokal.
Peristiwa kerusuhan yang membangkitkan ketakutan ancaman bagi warga Eropa.
Atau
kasus pembakaran ladang tebu oleh para petani pada tahun 1900 yang menjadi
masalah serius pada saat itu. Kriminalitas pembakaran ladang tebu menempati
urutan keempat dari pelanggaran yang sering terjadi. Akar masalahnya adalah
tentang ketidakpuasan kaum lemah, atau ketidakberdayaan masyarakat bumi putera
mengelola lahan mereka.
Seiring
berjalannya waktu, munculah ideologi kebangsaan di kalangan bumi putera. Keinginan
hidup mandiri tanpa pimpinan bangsa Eropa. Berdikari tanpa Negara induk . Singkat
kata, Kaum bumi putera melawan diskriminasi status kasta oleh bangsa Eropa
dengan melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan pemberontakan.
Dengan
segenap kekuatan, berserikat dan berkumpul guna mengusir para penjajah, pada
tahun 1945, di dengungkanlah kemerdekaan Indonesia. Semua bahu membahu, meleburkan perbedaan, mengucilkan
ras dan agama, dengan berlandaskan lima dasar Negara yang di awali dengan
sifat-sifat ketuhanan, di akhiri dengan wujud kesatuan persatuan.
NAMUN SEPERTINYA
PESTA KEMERDEKAAN hanya bisa dinikmati berhitung hari. Pasalnya, belum genab
duapuluh tahun Indonesia berdiri, bangsa ini sudah di uji oleh peristiwa –peristiwa
luar biasa memilukan, keprihatinan , dan kasus-kasus sosial terus menerus menjadi
permasalahan yang belum bisa hilang hingga detik ini.
Menjadi
sangat ironis jika memperjuangkaan sebuah kemerdekaan tanpa perdamaian. Oleh
karenanya, para pejuang kemerdekaan telah menggagas dasar-dasar negara yang
bertujuan satu kesatuan, artinya utuh tidak terpecah belah oleh keberagaman suku dan budaya. (Berbeda tapi tetap satu jua/Beragam tapi
tetap satu jua, bentuk kekayaan yang patut dilestarikan,tidak saling mencaci
dan jumawa dengan kelompoknya).
Setelah
Indonesia merdeka , pertikaian dan peperangan terus terjadi. Masih segar dalam
ingatan kita bersama, sebuah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang di
tuduh komunis tahun 1965-1970. Dalam peristiwa tersebut, lebih dari setengah juta orang dibantai dan
lebih dari satu juta orang di penjara.
Atau
peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa yang disinyalir oleh “ketidakpuasan” rakyat akan ekonomi
Indonesia yang carut marut karena krisis. Wujud ketidakpuasan tersebut di
ejawantahkan dalam aksi demo yang berujung anarkis, menjarah toko-toko,
terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Serta kasus-kasus
pelanggaran HAM yang begitu menggunung, dan masih banyak lagi tragedi memilukan
yang terjadi di Indonesia.
![]() |
Orang-orang menjarah toko etnis Tionghoa pada tanggal 14 Mei 1998. atau lebih dikenal sebagai peristiwa 1998 |
Hingga
pada bulan-bulan awal 2017, demonstran semakin marak. Aksi-aksi dan gerakan ketidakpuasan terus bermunculan
dikalangan masyarakat Indonesia.
Mungkin tujuannya mulia, namun di sisi lain tersirat kita semua mengabaikan perdamaian yang harusnya kita jaga. Masih banyak jalan yang bisa kita tempuh untuk memperbaiki keadaan tak menentu seperti ini.
Dalam hemat saya, fenomena seperti ini sebagai
situasi maraknya ketidakpuasan masyarakat, suatu keadaan dimana masyarakat berada pada opsi buntu, memahami
bahwa permasalahan negara terjadi disebabkan oleh kegagalan orang lain.
Oleh karenanya, gerakan “bela” hanyalah sebuah dampak dari rasa ketidakpuasan secara massal serta permasalahan sosial yang bahkan kita tidak mempunyai solusi.
Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini?
Seperti yang telah terurai diatas, aksi "ketidakpuasan" masyarakat selama ini di ejawantahkan dalam sebuah aksi. Dampak dari aksi tersebut semakin menimbulkan berbagai masalah yang semakin ruwet, dan tak ada titik terang dan solusi.
Sebagai masyarakat yang peduli akan kemajuan Indonesia, benarkah menurunkan satu juta orang dijalan bisa mengentaskan masalah?
Jika satu juta orang digerakkan dalam satu kegiatan produktif, maka satu masalah sudah selesai di tuntaskan. Contoh sederhananya adalah, jika satu juta orang berdemo menuntut harga cabai turun, akan menjadi solusi jika satu juta orang tersebut menanam sendiri di lahan mereka masing-masing.
Hal terpenting adalah bagaimana kita tak mudah larut dalam suasana ketidakpuasan masyarakat. Berlomba-lomba dalam kebaikan yang dalam bahasa arab disebut fastabikul khairat, pesan yang selalu saya ingat dari petunjuk guru saya bapak Kyai Tanjung.
Semoga kita semua semakin bijak dalam melakukan segala hal. Pertikaian akan semakin bertambah jika kita mengabaikan hak-hak orang lain. Saling mendukung, bekerjasama, gotong royong, yang harus kita terapkan kepada diri kita dan anak cucu kita untuk menyongsong Indonesia berkemajuan.
Akankah kita siap menyambut kemajuan Indonesia menjadi negara yang indah dan damai? Atau menjadi negara yang terpecah belah dan kembali menjadi negara koloni?
Oleh karenanya, gerakan “bela” hanyalah sebuah dampak dari rasa ketidakpuasan secara massal serta permasalahan sosial yang bahkan kita tidak mempunyai solusi.
Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini?
Seperti yang telah terurai diatas, aksi "ketidakpuasan" masyarakat selama ini di ejawantahkan dalam sebuah aksi. Dampak dari aksi tersebut semakin menimbulkan berbagai masalah yang semakin ruwet, dan tak ada titik terang dan solusi.
Sebagai masyarakat yang peduli akan kemajuan Indonesia, benarkah menurunkan satu juta orang dijalan bisa mengentaskan masalah?
Jika satu juta orang digerakkan dalam satu kegiatan produktif, maka satu masalah sudah selesai di tuntaskan. Contoh sederhananya adalah, jika satu juta orang berdemo menuntut harga cabai turun, akan menjadi solusi jika satu juta orang tersebut menanam sendiri di lahan mereka masing-masing.
Hal terpenting adalah bagaimana kita tak mudah larut dalam suasana ketidakpuasan masyarakat. Berlomba-lomba dalam kebaikan yang dalam bahasa arab disebut fastabikul khairat, pesan yang selalu saya ingat dari petunjuk guru saya bapak Kyai Tanjung.
Semoga kita semua semakin bijak dalam melakukan segala hal. Pertikaian akan semakin bertambah jika kita mengabaikan hak-hak orang lain. Saling mendukung, bekerjasama, gotong royong, yang harus kita terapkan kepada diri kita dan anak cucu kita untuk menyongsong Indonesia berkemajuan.
Akankah kita siap menyambut kemajuan Indonesia menjadi negara yang indah dan damai? Atau menjadi negara yang terpecah belah dan kembali menjadi negara koloni?
Comments
Post a Comment