Efaluasi pendidikan formal

Efaluasi sistem, SMA magang
Oleh : Amin Maulani

Hampir setiap sore sekitar pukul 19.00, anak-anak berseragam putih abu-abu berdiri di pinggir jalanan pasar dekat rumah, sembari membawa lembaran-lembaran brosur gadged terbaru, tangan-tangan menengadah, menyodorkan brosur-brosur tersebut ke setiap pengguna jalan yang hilir mudik bersama riuhnya pasar. Entahlah, mungkin pemilik konter menggunakan momen tersebut sebagai tempat strategis memperkenalkan produk-produk barunya, atau juga itu memang SOP dari tatanan marketing dan jiwa sosialis yang diajarkan kepada siswa magang.
Beberapa kali saya yang melintas, tak enak hati dan selalu menerima uluran tangan si gadis berpakaian putih abu-abu, meski agak kesusahan menerima uluran tangan tersebut, canggung menyambar lembaran (yang ternyata  maaf juga tidak penting ) dan menantingnya sampai kerumah. Saya berfikir harus menerima brosur tersebut, bukan alasan apa, hanya terbayang bagaimana mental gadis tersebut harus terbentuk dari tekanan ruwetnya masa, bukan waktu yang ia kehendaki, malu, letih, atau mungkin kecewa, tidak tahu apa yang dapat ia ambil dari belajar marketing di jalan.
Hal itu menjadi masalah tersendiri bagi saya, karena apa mungkin saya yang terlalu bodoh, tidak bisa menerima bahwa anak-anak sekolah itu sedang menjalankan tugas sekolah. Belajar marketing dari konter, dari tempat magang, mereka mendapat pelajaran aplikatif . Yang tentunya jadwal kerja disamakan dengan karyawati konter. Sekali lagi, apa mungkin saya yang kurang terbiasa dengan  teori pembelajaran demikian. Tak nyaman melihat gadis-gadis cantik berseragam putih abu-abu masih di prospek mentalnya di tempat ia magang pada waktu yang tidak tepat. 
Yang saya tahu, mereka menjalankan tugas tersebut dengan sangat terpaksa, yang biasanya mereka sudah berkumpul dengan keluarga, atau malah sudah membaca buku, mengerjakan tugas tulis diruang tamu, ada yang mengaji dan lainnya masih harus mengejar target habis brosur. Jika yang demikian dilakukan sebagai metode pembekalan mental siswa, pengetahuan lapang, dan sebagai edukasi sosial kepada masyarakat atau yang disebut humas, semoga tidak malah membebani siswa itu sendiri, menciutkan nyali serta membunuh kreatifitasnya.
Dari permasalahan diatas, saya ingin mengangkat visi-misi sekolah sebagai pegangan menjadikan para siswa memiliki jiwa entrepreneur. Tentu sekolah mengharapkan siswa mampu melihat permasalahan-permasalahan di sekitar, sehingga ketika masa belajar di tingkat atas sudah diselesaikan dengan baik, siswa akan menjadi manusia yang solutif. Dengan kegiatan magang di tempat-tempat kerja, sekolah ingin meningkatkan kemampuan siswa diantaranya, mengenal dunia kerja, menumbuhkan jiwa entrepreneur, membangun komunikasi, marketing edukasi serta kemampuan membangun mental yang tahan banting.
Tentu visi-misi sekolah haruslah di sengkuyung oleh semua elemen masyarakat, dengan harapan bersama, generasi kedepan akan mampu membawa tanah air ke perubahan yang madani.
Kembali lagi, jika kita sepakat pembelajaran yang diberikan kepada siswa meliputi menumbuhkan jiwa entrepreneur, membangun komunikasi, marketing edukasi, respon , respek , peduli, serta kecakapan skill dan spiritual. Pertanyaan yang perlu di uraikan oleh para stakeholder adalah, metode dan sistem yang seperti apa? Agar edukasi terserap dengan baik oleh siswa.
Magang atau belajar adalah upaya sekolah merealisasikan tujuan tersebut. Jika sudah dilaksanakan, akan timbul permasalahan lagi, bagaimana metode dan sistem yang benar dalam tatalaksana proses magang atau belajar aplikatif di lapangan?
Begitulah perbaikan sistem, dilaksanakan, efaluasi, laksanakan, efaluasi dan seterusnya. Harapan kami, sistem magang di tingkat sekolah bisa di efaluasi terus menerus hingga ketemu dengan sistem perbaikan yang pas, atau setidaknya tidak salah urus.
Namun jika dicermati, efaluasi bukan terletak pada bagaimana kita melaksanakan magang dan dimana kita akan menempatkan si siswa untuk magang semata. Jika efaluasi dilakukan dari dasar masalah, atau bagaimana agar kemampuan kognitif, efektif dan psikomotorik siswa bisa terealisasi, bisa saja kita menghilangkan sistem magang seperti yang ada selama ini.
Meningkatkan respon, peduli lingkungan misalnya, metode sharing bisa dilakukan setiap hari di kelas, berdiskusi ,bagaimana siswa melihat peluang-peluang yang ada di sekitar, mendata masalah sosial,seperti mahalnya sayuran organik, kurangnya minat baca, masih suka minta uang saku ke orang tua, jarang di rumah, suka keluar malam dan lain-lain. Dari masalah tersebut, siswa di tuntut untuk mencari solusi sendiri, apa yang harus mereka lakukan, sehingga mereka akan aktif berfikir, menemukan gagasan, jika sudah ketemu solusi, seperti belajar menanam sawi organik untuk menanggulangi mahalnya sawi organik. Dari solusi tersebut, siswa lebih gamblang dalam menentukan pelajaran apa yang perlu ia tekuni, karena sudah mengerti dengan kebutuhannya . Pihak sekolah tinggal mencari link untuk mentransfer kebutuhan belajar siswa ke para ahli di bidangnya. Jika siswa ingin belajar menanam sayur organik, sekolah menyiapkan guru pertanian di sekolah, jika siswa membutuhkan pakar sosiolog, agar dia tidak suka keluar malam, sekolah menyiapkan guru sosiologi atau guru bimbingan konseling, jika siswa tahu tidak bisa menghitung hasil jual sawinya tadi, maka dia akan membutuhkan guru ekonomi, pihak sekolah tetap menajdi fasilitator dan pendamping yang baik.
Untuk permasalahan tempat belajar, tentu bisa di mana saja, jika di lingkup sekolah tersedia, maka pembelajaran dilakukan seperti biasa, namun jika sekolah belum tersedia, bisa di salurkan ke instansi-instansi yang berpotensi memajukan pembelajaran. Sehingga, sistem belajar akan lebih fleksibel, hasil yang dinilai adalah karya siswa itu sendiri, guru sebagai pendamping tentu bisa melihat perkembangan anak didiknya.



Comments

Popular Posts