Cerpen: Meratapi Nasib Perusahaan (Bag.1)
Agustus ke 17,- Meratapi Nasib Perusahaan
“Tagihan. Tagihan!
Saja kau ini, wanita jalang. Teruskan saja hobimu shopping. Mikirlah kalau perusahaan mau kolaps. Ha?” Hendir
berteriak memaki-maki Mia, istrinya, sambil melempar selembaran kertas berisi tagihan yang barusan
disodorkan Mia, nyaris tangannya melayang ke wajah wanita itu.
Persetan dengan sumpah serapah yang tercecar dari mulut istrinya,
buru-buru lelaki berkemja putih itu bergegas menjauhinya. Menenteng koper
laptop keluar rumah, meloncat kedalam jeep, lalu tancap gas menuju kantor.
Hendri terus memacu jeep, menekan gas sedalam mungkin agar
secepatnya sampai ke kantor. Satu-dua pengendara motor nyelonong ke tengah
jalan, memaksanya menekan rem dalam-dalam, memukul klason kuat-kuat. Sial. Dasar
orang Indonesia, semua udik, semua gak tertib.
“Selamat pagi, Bapak.” Sapa Siska, sekretaris kantor, menebar
senyuman setelah menutup pintu ruangan, menyodorkan berkas-berkas di atas meja.
Hendri yang baru saja mengempaskan punggungg ke atas kursi menatap telak ke
arah wanita itu. Tidak ada kata-kata genit pagi ini.
“Ehm. SMS saya sudah dibaca tadi pagi?” Lanjut Siska tanpa
mengurangi senyum manis yang seolah-olah dibuatnya sedemikian hingga. SOP
sekretaris kantoran.
“Ah. Ya! Belum. Langsung saja beritahu saya sekarang, mumpung
saya belum meeting sama klien.” JAwab
Hendri sembari menyingkirkan kertas kasar. Siska tetap tersenyum.
“Em. Itu sebenarnya isi SMS-nya ke Bapak. Jadi klien kita
membatalkan kontrak. Perusahaan gagal memenangkan tender, Bapak. Karyawan banyak
yang resign, minta tunjangan.”
(***)
Sejak sebulan lalu masalah kantor yang tak kunjung usai
semakin membuat frustasi.Kelebihan karyawan yang tak pernah diantisipasi
membuat pengeluaran semakin membengkak,
ditambah 90% karyawan yang bekerja tidak punya kompetensi.” Oh, mengapa
aku terlambat mengetahuinya? Kemana saja aku selama ini.” Gumam hendri
dalam hati.
Pagi ini,hampir menjadi akhir dari semuanya. Saat Hendri membuka
mata disambut berita turunya harga saham, kalah tender, dan kerugian-kerugian
yang membuat kantornya bermasalah dengan Bank. Semua berita itu dan
kenyataannya, menjatuhkannya ke jurang nestapa, Hendri merasa terperosok pada
lumpur yang menenggelamkan selama-lamanya. Kalah.
“Istri yang tidak bijaksana, karyawan yag takut hanya ketika
di depan muka, lingkungan yang tidak sehat, dan semua kurasa tidak ada yang
memberiku ruang untuk berkreasi, mematikan imajinasi.”
Bersambung…
Nantikan kisah ini di esok hari!
Ditulis untuk memenuhi program kemandirian menulis “one day
one article”.
Comments
Post a Comment