Cerpen | Hilang Ingatan

Cerpen  Hilang Ingatan


Entah apa yang ada di benak ku, mengapa aku harus merasa jijik dengan satu keluarga yang tadi pagi lewat di depan rumah sambil meminta-minta.

Pagi tadi, saat aku sedang bersantai di teras rumah, lima orang,- yang sepertinya satu keluarga- datang hanya untuk meminta-minta. Awalnya aku biasa saja, namun setelah mataku awas memandangi mereka satu-satu, kepalaku menjadi pusing, perutku mual hendak muntah, dan mataku berkunang-kunang. Lalu tak lama, aku tak sadar. Ingatanku menghilang.

(***)

Siang ini aku masih berbaring di atas ranjang. Ah, ya. Ternyata ini bukan ranjang milikku. Bukankah ranjangku terbuat dari kasur berbahan kain sutra? Dimana aku sekarang!

Lama aku berbaring sambil menerka-nerka, dimanakah aku sekarang. Tempat yang cukup luas, ada kain kelambu, gurden berwarna biru, sedang ukuran ruangan ini sepertinya tak jauh dari 10 km persegi. Baiklah kubiarkan saja, kepalaku masih pusing. Di tempat yang sepi ini, aku lebih baik bejibaku dengan kepalaku yang masih terasa kaku. Sambil menunggu orang datang, lalu memberitahu keberadaanku.

Bagai memancing di kolam renang, lama ku menunggu, satu orangpun tak jua datang. Hari apa ini?

Baiklah sebaiknya aku tidur saja. Semakin aku mengingat, semakin pusing kepala. Tetap saja tak tahu apa-apa. Yang terpenting sekarang, bagaimana aku bisa cepat pulang. Lalu menikmati masa tua di rumah dengan tenang. Kasur yang empuk, pelayan banyak, makan enak sampai kenyang, yang penting aku senang.

Tapi aku pusing. Perutku kembali mual, hendak muntah. Lamat-lamat ku ingat lima orang- satu keluarga datang, lalu menghilang. Mataku berkunang-kunang. Ingatanku hilang.

(***)

Ini sore atau malam, aku tak tahu. Dimana aku, aku jua tak tahu. Ah ya, aku suda bisa berdiri. Di depan ada televise. Sebaiknya kutonton saja, siapa tahu ada tayangan selebriti. Aku pun mencari remot lalu menyalakannya. Tivi kini menyala. Dan tayangannya hanya berita. Berita Indonesia yang sedang merayakan hari kemerdekaannya. Apa itu Indonesia? Aku lupa. Tidur lagi.

Kumatikan tayangan televise. Tapi tak mau mati. Astaga, apa yang terjadi? Satu keluarga itu nongol di tivi. Seorang perempuan bertubuh pendek, pakaiannya lusuh berwarna putih kecoklatan, mungkin itu warna debu jalanan, kulitnya hitam seperti arang. Sambil menggendong salah satu anaknya, sedang tiga anak lagi ndepipis di belakang.

Aku semakin bingung, akhirnya kututupi saja tubuhku dengan selimut. Tubuhku bergetar, sambil merapalkan doa-doa, yang kemudian baru kurasa, itu doa kunut. Ya Tuhan, Aku jijik dengan orang di tivi, kok lama-lama mukanya sama seperti badut.

(***)

Dua orang tiba-tiba saja datang. Lalu berkata begini : “Tuan Pualam, ini hari kemerdekaan Indonesia. Kami memberikan keleluasaan keluarga anda menyambangi anda di sini. Sebaiknya Tuan mau berbicara dengan mereka.” Katanya sambil menuntunku keluar dari kamar.

Astaga!... Aku kaget tak terkira. Lima orang satu keluarga itu lagi. Tak mungkin itu keluargaku. Bukankah aku orang kaya? Mengapa aku punya keluarga jembel seperti mereka.
Aku pun tak kuasa menahan rasa jijik saat melihat mereka, lima orang jembel yang mengaku-ngaku keluargaku. Bukankah dari kemarin pagi mereka sudah ku usir? Bukan. Tidak mungkin. Ini dusta. Aku tak pernah bersaudara dengan mereka.

Aku pun pergi. Kembali ke kamarku. Kamarku sekarang berbeda, meski tidak bagus seperti dulu, yang penting aku tak bertemu dengan mereka. Orang-orang yang sukanya hanya meminta-minta, memasang wajah memelas, untuk meminta.

(***)

Aku sudah berada di kamar. Tapi sekarang aku tak suka lagi di kamar. Tivi-nya masih menyala, dan wajah-wajah itu masih meneriakkan nama Pualam, yang katanya itu nama ku. Astaga!...aku lupa.

Aku masih tak tahu siapa aku. Yang ku tahu, tivi-nya terus menyala. Menayangkan berita duka. Katanya tuan Pualam sudah gila. Tuan Pualam tak mau mengakui keluarganya jua. Tuan Pualam gila lantaran ketahuan mengusir satu keluarga. Tuan Pualam jadi malu, lantaran media tahu. Bagaimana tidak malu,bukankah Tuan Pualam dikenal sebagai anggota dewan, yang kata-katanya di depan kamera, harus digugu dan ditiru?

Ah, itu kan hanya berita. Sedangkan aku tak kenal Pualam. Aku lupa. Sekarang jadi pusing. Mending tidur saja.

18 Agustus 2017

Ditulis unttuk memenuhi program kemandirian menulis “one day one article”. Tulisan ini juga dibuat untuk menyemarakkan HUT RI ke 72. Indonesia merdeka dari intervensi batinnya masing-masing.


Comments

Popular Posts