Semarak Bincang-Bincang An-Nubuwah dan Pemahaman Mengenai Keberagamaan


Beberapa hari yang lalu saya sempat menulis sebuah artikel  tentang persiapan mengikuti sebuah acara bincang-bincang  An-Nubuwah  dengan Narasumber Bapak Kyai Tanjung. Silahkan baca disini.
Dalam informasi yang beredar di group Telegram maupun facebook, acara tersebut diperuntukkan kepada seluruh masyarakat Nusantara. Namun dengan catatan bagi mereka yang memiliki pikiran terbuka, tidak fanatik, tidak  kaku, tidak beku, serta bagi mereka yang hatinya terbuka menerima suatu penjelasan yang berbeda.

Setelah menimbang dan memperhatikan informasi tersebut  selama beberapa hari, sayapun mantap mendaftarkan diri melalui nomor yang tertera  pada brosur. Dari komunikasi yang saya lakukan dengan salah satu  contak person, saya  terhubung dengan mbak Linda, saya dianjurkan mendaftar ulang pada hari sabtu 08/04/17 kemarin di kampus Pomosda yang beralamatkan di Jl.KH Wachid Hasyim No.304 Tanjunganom, Nganjuk-Jatim, guna  memastikan kehadiran.

Singkat cerita, saya mengikuti saran mbak Linda, mendaftarkan diri pada hari  sabtu. Dan pada hari minggu paginya, saya bergegas. Dengan menenteng tas hitam dibelakang, saya berdiri pada  antrean yang mulai terasa agak berdesak-desakan.


Ternyata, acara tersebut dihadiri dari berbagai kalangan, diantaranya direktur Kelorina Indonesia dari Blora, Kapolres Nganjuk, Kodim Warujayeng, Polsek Warujayeng,  Sahabat Bumi Surabaya, beberapa mahasiswa dari daerah karisidenan Kediri, Ngawi, Madiun, dan terdapat pula beberapa tokoh Budha dan Kristen yang  mengikuti  acara tersebut.

Tak lama berselang, Gedung Olahraga (GOR) tersebut padat dengan audien. Hingga waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, para hadirin masih terus berdesak-desakan berdatangan. Sekali lagi, saya terkesima dengan suasana yang saya rasakan. Persembahan lagu-lagu yang bercerita tentang penghambaan seorang manusia kepada  Tuhan, paduan suara yang menggema dengan  lantunan bergemuruh, di tambah dekorasi tanaman sayuran  yang tertata hijau di media vertikultur dan polybag, membuat saya melupa dengan tensi darah yang sering meninggi setiap awal bulan .

“Paradoksal  Beragama  dan Kontekstualisasinya. Agama Adalah Nyata”. Diangkat menjadi tema. MC mempersilahkan, pak kyai  mulai membuka perbincangan. Aku menegakkan punggung, meraih buku dan bolpoin, bersiap mencatat .

Sebuah pemahaman beragama yang selama ini dipahami memisah, antara ritual yang mendapatklan pahala, dan pekerjaan yang hanya dipandang sebagai kewajiban. Pekerjaan  agama adalah syahadat, shalat,zakat,puasa, dan haji. Selain kelima tersebut tidak ada hitungan dihadapan Tuhan. Benarkah demikian?

Selama ini begitulah adanya. Maka yang kita lihat pada masyarakat  pesantren sebagai ikon umat islam, hanya mempelajari kitab kuning, menghafal al-qur’an . Pelajaran seperti fisika, kedokteran, pertanian, marketing dianggab bukan pelajaran agama. Bahkan, saya masih ingat sekali, salah seorang ustad saya dulu mengatakan, belajar fisika dan matematika tidak membuat kita masuk syurga. Mengapa?  Apakah dengan menghafal al-quran juga membuat kita masuk syurga?
Inilah yang menghambat kemajuan, seharusnya apapun yang kita lakukan, baik berprofesi sebagai petani, pengajar, polisi, berdagang, niatnya adalah ibadah. Mengajinya seorang  petani  dengan mengembangkan teknologi pertanian, seorang  pedagang dengan mengoptimalkan kualitas produk dan sebagainya.

Saya kembali memperhatikan. Pemahaman yang selama ini ditafsir-tafsir, disetujui hingga diyakini kebenarannya. Dengan percaya diri menjelaskan tentang ke-Esaan Tuhan. Padahal, mengetahuinya pun hanya melalui buku-buku dan tafsir. Dengan kata lain hanya berprasangka dari jauh. Benarkah demikian? Saya mencatat bagian terpentingnya “Setiap zaman ada yang berhak menunjuki jalan menuju Tuhan”.
Lebih jauh, bapak kyai menjabarkan mengenai shalat, zakat, puasa,  haji bagi yang mampu, bersosial yang baik, saling komunikasi,  menafkahi keluarga adalah perintah. Sedang jika perintah itu dilanggar, maka kepastian azab akan menimpa.

Sedangkan beda syareat tidak perlu dipermasalahkan. Islam harus memakai kopyah, memakai sarung, baju koko, jika tidak  demikian kafir, benarkah demikian? Ibarat kopi, yang dibutuhkanadalah  isinya. Ketika kita dahaga, tentu kita membutuhkan isinya, biarpun disajikan dengan gelas yang berbeda. Yang perlu dipahami adalah, jika ingin menjadi seorang yang islam atau selamat perilakunya, maka kita harus menutup aurat.

Agama adalah nyata, sedang pahala adalah imbalan. Jika kita membayangkan pahala kita peroleh nanti kiamat? Apa bedanya dengan janji politik. Saya tertegun sesaat, “benarkah demikian?”  Dan bagaimanakah Kontekstualisasinya sehingga kita benar-benar merasakan bahwa agama itu nyata? Penjelasan tersebut secara gambling bisa anda simak disini.

Duapuluh menit berlalu, sesi pertanyaan dibuka. Para audien saling berebut mengangkat tangan. Tiga pertanyaan beruntung ditampung.

Untuk selanjutnya, penjabaran pertanyaan-pertanyaan audien hingga selesai. Pada pertanyaan sesi kedua, saya mengangkat tangan, bersamaan dengan puluhan tangan yang terangkat. Apa daya, saya harus memendam pertanyaan dan melipat kertas kembali.

Namun disini, banyak sekali penjabaran mengenai bagaimana kita beragama dari pak kyai tanjung yang tak mampu saya uraikan secara rinci. Saya sangat mengakui keterbatasan. Tulisan ini saya buat untuk semua para pembaca seandainya saja bisa memberikan informasi yang bermanfaat bagi anda semua. Dan untuk lebih mendalami tentang  kajian pak kyai Tanjung, anda  bisa mengaksesnya melalui  youtub dengan kata kunci “kyai tanjung”.

Di sesi  penutupan, MC juga mengnformasikan bahwa acara ini akan digelar kembali  dalam waktu dekat dan selalu live streaming melalui chanel youtube Jatayu Tv. Selain itu, acara ini juga akan disiarkan melalui BBS Tv.

Diselenggarakannya acara ini pun karena banyak pertanyaan yang masuk kepada pak yai tanjung dari pemirsa Bios Tv Kediri yang tayang setiap minggu pahing secara live. Anda penasaran dan kenal lebih jauh? 

Comments

Popular Posts