Cerpen | Erwina Chrysanthem


       "Dilema rasanya aku tok, kalau tau begini jadinya mending aku tak sudi kau ajak pergi ke Jakarta" Iksan terus menggerutu tak jelas kepada totok, disikutnya tubuh kawannya itu kasar.
"Kau malah menyalahkan aku sekarang, emang dulu siapa yang bolak-balik ke rumah setiap hari minta diajak ke Jakarta ha?" Rasa pusingnya mabuk bus hilang oleh celetukan iksan. Kini Totok duduk dengan tegap, tak lagi meringkuk seperti anak kucing cacingan.
"Ya. Kan kamu yang sudah tahu kondisinya jakarta, setidaknya kamu ngasih tahu kalau di kampung lebih enak dari pada jakarta. Balas Iksan.
"Kurang ajar sekali kau ini, sudah ditolong malah gak ada terimakasih sama sekali. Sudah tau kondisinya seperti ini kau malah sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Kapan hidupmu bisa sukses san.. san, kalau pemikiranmu kayak tai."
" Dasar kadal ndeso, emang kau sudah sukses sekarang? Dapat apa kau ratusan tahun di Jakarata. Ha...". Iksan clingak-clinguk ke depan dan belakang, dia baru sadar suaranya nyaring membuat penumpang lain memperhatikan pertengkaran mereka.
"Nasi sudah menjadi bubur, mau bertengkar sehebat apapun sawah kau tetap digarap warga Tiongkok." Akhirnya suara totok meredam. Mau bagaimanapun, saat ini yang perlu dia lakukan adalah bersimpati kepada sahabat karibnya.
Iksan pun bungkam. Meski masih kesal dengan kabar dari rumah, namun apa daya, itulah yang terjadi. Kekesalanya bukan hanya lahan yang ia miliki kini di garab warga asing, namun ia semakin tak terima saat mendengar orang asing itu menanam cabai beracun yang mengandung bakteri Erwina Chrysanthem.





Comments

Post a Comment

Popular Posts